topbella

Minggu, 13 Maret 2016

PERENCANAAN PENULISAN JURNAL



            Saya ingin membuat jurnal seperti jurnal yang saya temukan, yaitu JURNALNOVEL WORKING WOMAN KARYA ITA SEMBIRING ANALISIS TEMA, PENOKOHAN, DAN NILAI PENDIDIKAN” yang ditulis oleh Moh Nurudin seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia di Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni IKIP PGRI BOJONEGORO. Jurnal ini ditulisnya pada tahun 2013.

            Saya berencana akan membuat jurnal seperti yang ditulis Moh Nurudin tetapi dengan judul yang berbeda. Saya akan menganalisis tema, penokohan, dan nilai pendidikan dalam Novel “Cinta Suci Zahrana” karya Habiburrahman El Shirazy. Menurut saya banyak sekali nilai-nilai yang dapat kita ambil pada Novel karya Kang Abik ini karena cerita ini banyak sekali terjadi dikenyataan. Jurnal yang nantinya akan saya tulis ini saya tujukan tidak hanya pada mahasiswa atau pelajar saja, tetapi juga masyarakat umum.

            Saya akan menulis jurnal dengan struktur yang mudah dipahami. Pertama-tama saya akan membahas tentang temanya dulu, kemudian penokohan dalam novel tersebut, dan yang terakhir nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut.

            Langkah-langkah saya dalam menulis jurnal nantinya saya akan membaca secara kritis dan teliti seluruh teks novel Cinta Suci Zahrana ini, kemudian saya akan mencatat bagian-bagian penting dari novel tersebut seperti siapa saja tokoh-tokohnya dan bagaimana perwatakannya. Setelah saya membaca seluruh teks novel ini saya dapat menyimpulkan tema dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini.

            Langkah selanjutnya setelah saya mengonsep semua yang akan saya tulis dalam jurnal nanti, saya akan mulai menyusun atau mengembangkan kerangka dari konsep yang telah saya rancang tadi. Pada jurnal yang ditulis oleh Moh Nurudin tadi mungkin hanya memuat tema, penokohan, dan nilai-nilai moralnya. Nah disini saya mungkin juga akan menambahkan bahwa ada unsur feminisme dalam novel ini. Saya akan menjelaskan dimana letak unsur-unsur feminism itu dalam novel Cinta Suci Zahrana ini.

            Jurnal yang telah saya rencanakan ini akan saya buat dalam 1 minggu. Saya membutuhkan waktu 3 hari untuk membaca secara kritis dan teliti Novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy ini sambil saya mencatat atau mengonsep apa saja bagian-bagian penting dari novel ini. Kemudian 2 hari saya akan merevisi rancangan atau konsep yang saya buat dengan mengembangkan konsep yang sudah ada ataupun menambah ide baru. 2 hari berikutnya saya akan mengedit atau memoles kembali jurnal yang telah saya tulis dari berbagai segi seperti spelling, tenses, pilihan kata dan lain-lain.


Senin, 07 Maret 2016

Review Cerpen "KOPI & GULALI"



            Cerpen “Kopi dan Gulali” karya Nazwa Mufidah ini merupakan cerpen yang bertemakan percintaan. Cerpen ini menceritakan bagaimana kisah percintaan sepasang kekasih yang terpisahkan karena keadaan. Kalimat-kalimat dalam cerpen ini dikontruksi secara sederhana dengan sesekali diselipi majas atau diksi. Kesederhanaan kalimat-kalimat pada cerpen ini membuat cerita seakan mengalir karena bahasanya mudah dipahami.

            Tema yang diangkat pada cerpen ini memang sudah biasa, tentang sepasang kekasih yang dipisahkan. Tapi ada yang menarik pada cerpen ini, yaitu penulis mengontruksi tokohnya dengan kebiasaan yang unik, minum kopi sambil makan gulali. Menurutnya ada filosofi tersendiri antara kopi dan gulali. Kebiasaan tersebut akhirnya terus diingat oleh sang mantan kekasih pada cerpen ini.

Ada empat poin dalam cerpen ini, yaitu cinta, perpisahan, rindu, dan kenangan. Pada akhirnya semua bermuara pada kerinduan seorang lelaki yang terjebak akan nostalgia di masa lalunya hingga ia tidak dapat melupakan sosok wanita yang dulu pernah sangat dicintainya. Kombinasi antara tokoh Zulfa seorang wanita cantik berwajah Arabian dan tokoh Damar lelaki melankolis yang terjebak dalam kenangan membuat cerita ini semakin unik.

Cerpen ini menyajikan nilai yang amat menyentuh, terutama terletak pada endingnya yang ternyata setelah satu tahun berlalu, Damar masih tidak bisa berpindah ke lain hati. Ia masih ingat setiap inchi kenangan-kenangannya bersama Zulfa. Hal itu membuktikan betapa besarnya cinta Damar pada Zulfa.

Namun, saya rasa kekurangan cerpen ini yaitu penulis terlalu terfokus pada inti masalah atau klimaks pada cerpen ini, sehingga penulis melupakan bagian-bagian yang mungkin dapat menambah nilai plus dari cerpen ini. Kosakata pada cerpen ini juga terlalu banyak kalimat-kalimat melankolis. Bagi pembaca yang tidak begitu menyukai kata-kata melankolis, mungkin akan jenuh sebelum ceritanya menuju klimaks.

Minggu, 06 Maret 2016

Metode Arkostik pada Puisi Semilir Duka

Puisi "Semilir Duka" ini menggunakan metode penulisan arkostik, yaitu sajak dengan huruf awal baris membentuk sebuah kata atau kalimat. Puisi ini menyiratkan kerinduan seseorang, kerinduan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Puisi ini menyiratkan seorang yang tidak bisa beranjak dari masa lalunya.

Puisi ini terselip beberapa majas metafora. Kekurangan dari puisi ini yaitu terlalu pendek, jika dibuat lebih panjang lagi mungkin akan lebih menarik. Selain itu pada bait terakhir kata-katanya sedikit rancu.

SEMILIR DUKA



Senandung rindu mengalun lembut
Enggan beranjak dari pangkuanku
Menorehkan luka yang begitu dalam
Ingin ku kubur masa kelam
Lalu berjalan melukis pelangi
Inginku tinggalkan rasa ini
Rasa yang membuatku mengais masa lalu

                        Dalam kenangan kau seret aku
                        Untuk kembali menyentuh kenangan
                        Kamu seharusnya mengajari aku
                        Ajari aku caranya melupakan

Kopi dan Gulali



 “Wanita memang terkadang seperti itu, susah ditebak. Nanti juga baik sendiri,” ucapnya dengan logat Batak yang masih kental, sambil meniup uap kopi yang menguap dicangkirnya.
“Apa mungkin jenuh sudah mulai menyelimuti hatinya?” perasaan itu tiba-tiba menyelinap menusuk ke dalam relung hatiku. Aku memandang ke arah taman, rumput-rumput hijau, anak-anak kecil bermain perosotan, ayunan, berlarian kesana kemari. Gerombolan remaja sedang asyik bercanda dan berfoto. Wajah mereka berbinar. Di sini ramai, namun entah mengapa semua terasa kosong, hampa.
“Sudahlah, tak usah terlalu kau pikirkan. Mungkin dia sibuk. Kau tau kan anak kuliahan, tugasnya banyak. Kau harus mengertilah, nanti dia kalau sudah tak sibuk juga akan menghubungimu lagi seperti biasa,” ia menepuk pundakku berusaha untuk menepiskan pikiranku yang tidak karuan.
“Semoga saja ucapan kamu itu benar, Maruli,” aku tersenyum getir.
Senja perlahan semakin tergelincir. Sinarnya merah bercampur warna jingga keemasan. Aku dan Maruli segera beranjak meninggalkan bangku taman dan coffe cup ku yang sisa setengah isinya.
Langit seakan menyembunyikan bintang malam ini. Aku menutup jendela kamarku dan kusibakkan gordennya. Entah mengapa udara malam ini terasa sangat dingin. Hingga dinginnya menyusup kecelah-celah pori-pori kulitku, menusuk hingga ke tulangku. Ditemani bantal dan guling seadanya, aku hanya bisa menatap langit-langit kamar ku yang terasa semakin kosong ; sekosong hatiku.
Sepi begitu menggigit malam ini. Sesekali kulihat ponselku, berharap ada pesan singkat atau chat yang masuk. Berkali-kali aku merubah posisi tidurku. Namun lelap tak pernah menyambutku.
Ku beranikan diri, ku ambil handphone yang tergeletak di sampingku. Aku mulai merangkai kata-kata. Ku kirimkan pesan singkat itu padanya. Dengan degup jantung yang tidak karuan, gelisah yang perlahan menyelinap di rongga dadaku. Aku menunggu. Berharap ia membaca pesan singkatku, berharap ia membalasnya, memberi kabar bagaimana keadaannya. Apa yang terjadi sehingga ia tidak mengabariku 3 hari ini. Apa dia sakit atau sedang sibuk. Semua pertanyaan itu mengambang dalam otakku. Seakan meraung meminta jawaban dari dia.
Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam. Detak jarum jam semakin membuat detak jantungku tidak beraturan. Kuputuskan untuk menelponnya. Namun, nihil. Nomernya tidak aktif.

Zulfa
            Jemariku menari bersama imajinasi dan pemikiran di atas keyboard laptopku. Sesekali kupandangi langit malam ini yang terlihat muru tanpa adanya bintang. Hanya kerlap kerlip lampu kota yang menerangi malam ini.
            Dering handphoneku seketika membuyarkan lamunanku. Tanpa membaca isi pesan singkat itu aku langsung mematikan handphoneku. Sudah 3 hari aku tidak memberinya kabar. Sudah 3 hari aku tidak membalas sms atau mengangkat telponnya. Aku tau mungkin dia khawatir, cemas, gelisah ketika aku bersikap seperti ini. Tapi sungguh, aku masih belum sanggup bertemu dengannya. Aku belum siap dengan semua kenyataan ini.
            Aku beranjak dari balkon kamarku. Seketika otakku sudah tidak mampu lagi berpikir. Sugguh, aku begitu tersiksa dengan keadaan ini. Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku seperti anak kecil yang seakan lari dari kenyataan. Tapi aku hanya butuh waktu sendiri, sedikit waktu untuk menenangkan hatiku.

Damar
Aku benci perasaan ini. Perasaan yang perlahan menggelayutiku. Perasaan yang membuatku berantakan. Dadaku mulai sesak. Aku seakan tak kuasa menahan rindu ini. Rindu sosok dia yang dulu. Dia yang selalu menghubungiku. Dia yang selalu memberi kabar. Aku sudah terbiasa dengan semua itu. Hingga begitu sulitnya aku bernafas ketika sehari saja aku tak mendengar kabarnya.
Semua social medianya dan teman-temannya sudah kuhubungi. Dan semuanya tidak ada respon. Ia seakan menghilang ke negeri antah barantah. Aku tidak menuntut banyak, aku hanya ingin tau kabarnya. Selama ini aku selalu mengerti kesibukannya. Kuliah dan pekerjaannya membuat ia bahkan harus mencuri-curi waktu disela-sela kesibukannya itu untuk bertemu denganku. Aku tidak pernah mengeluh dengan itu, meskipun kami tidak seperti pasangan lain yang selalu bisa bertemu kapan pun mereka mau.
Di luar hujan dengan derasnya menghujam bumi, riaknya luruh tak tertahan. Aku termenung memandang wajah cantiknya melalui benda dua dimensi bernama foto. Mendengar suara lembutnya dengan berulang kali memutar voicenotenya. Menenun angan mengingat saat-saat aku bersamanya. Rindu ini sudah mulai meraung.

Zulfa
            Kupandangi mawar yang dulunya putih sekarang sudah berubah menjadi hitam karena sudah layu dan mengering. Mawar ini masih rapi melekat di buketnya dengan pita pink yang melilit di buketnya. Ku kumpulkan kelopak-kelopak mawar yang sudah mulai rontok, tidak kubiarkan satupun terbuang. Mawar ini hadiah pertama yang ia berikan kepadaku. Selama ini ia memang bukan lelaki yang romantis, makanya aku begitu terkejut ketika ia memberikut satu buket mawar putih lengkap dengan hiasan pita pink kesukaanku.
            Petama kali aku bertemu dengannya ketika mobilku tidak sengaja menabrak motornya. Kala itu aku sedang sakit kepala dan tidak sadar aku menabrak motornya yang terparkir di pinggir jalan. Sejak pertemuan yang tak terduga itulah aku mengenalnya. Tapi aku tidak pernah menyangka jika ia tiba-tiba memenuhi sudut-sudut terpencil di otakku, hingga memenuhi relung-relung hatiku. Semua terjadi begitu cepat, tanpa teori dan banyak basa-basi.

Damar
Waktu sudah menunjukkan sepertiga malam. Tak banyak membuang waktu lagi, aku langsung mengambil air wudhu. Setelah lama bercengkrama dengan Tuhan, mencurahkan segala kepenatan didada ini, aku kembali menenun angan.
Adzan berkumandang, membangunkanku dari tidur lelapku. Baru sadar, ternyata aku tertidur di atas sajadahku. Bergegas ku bersihkan diriku lalu ku ambil air wudhu. Bait-bait doa ku panjatkan. Tak terlupa namanya ku rapal dalam setiap doa dan sujudku.
Aku terperanjat ketika mendengar handphoneku berdering. Satu pesan singkat masuk. Ada letupan di hatiku yang tak bisa kujelaskan ketika aku membacanya. Dia mengajakku bertemu siang ini.

Zulfa
            Hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengannya. Aku sadar, aku tidak bisa membiarkan semuanya berlarut-larut seperti ini. Aku tidak bisa membiarkan dia terus digeluti rasa khawatir dan cemas. Aku harus memberi kabar padanya. Aku juga sangat ingin melihat matanya yang indah, aku ingin merangkul tubuhnya yang atletis, aku ingin bersandar di pundaknya. Aku sudah terlalu lelah.

Damar
Jemari lentiknya menari bersama imajinasi di atas keyboard laptopnya. Sesekali ia menyeruput coffe favoritenya. Di sebelah cangkirnya ada gulali yang tak pernah ketinggalan dibawanya. Gulali selalu menjadi temannya ketika minum kopi. Ia tampak cantik dengan setelan baju merah marunnya, ditambah lilitan pashmina yang selalu ia kenakan membuat hatiku selalu teduh ketika memandangi wajah arabiannya itu.
Aku terperanjat ketika seseorang tak sengaja menabrakku yang sedari tadi berdiri di balik pintu kafe. Aku segera menghampirinya. Lengkungan indah dibibirnya mengambang ketika melihat aku. Tapi aku merasa ada yang berbeda dari senyuman itu. Bias wajahnya tidak seperti biasanya.
“Maaf abang terlambat Zulfa,” aku membalas senyumnya dengan hati sedikit berdebar.
“Tidak bang, aku memang sengaja datang lebih awal. Aku sudah di sini sejak dua jam yang lalu. Aku sambil menyelesaikan deadline novel keduaku.”
Ia memang selalu ke kafe ini ketika ia merasa jenuh, sedih, atau ketika tangan dan pikirannya tidak mampu mengayuh bersama-sama untuk menciptakan rangkaian kata-kata pada tulisannya. Kafe dengan interior feel homy ini dihiasi berbagai aksesoris seperti karung kopi, sofa bergaya retro, lantai berwarna natural, dan dinding batu bata merah yang disusun mengikuti pola anyaman dibiarkan tampil polos tanpa balutan semen ini membuat otak terasa bisa berpikir dengan jernih, katanya.
“Keliatannya kamu sangat sibuk. Apa abang mengganggumu Zulfa?” ucapku dengan nada khawatir. Sebenarnya aku sudah tidak sabar ingin melemparinya dengan beribu pertanyaan yang selama ini membakar diriku. Tapi semua itu kutahan. Aku tidak ingin merusak suasana.
“Tidak bang, abang tidak pernah menggangguku,” nadanya terdengar getir. Ia menggenggam erat tanganku. Aku melihat ada awan kelabu di sorot matanya.
“Abang pesan minum dulu yaa,” aku berusaha mencairkan suasana, sekaligus menepis perasaan tidak karuan yang mulai menyelinap diam-diam.
Wamena Coffe,” ucapku setelah mengangkat tangan, mengisyaratkan agar pelayan kafe membawa daftar menu untukku. Ia tersenyum mendengar pesananku. Senyum itu, senyum yang selalu kurindukan. Rindu yang tak berkesudahan.
“Kenapa kamu tersenyum? Bukankah kopi itu yang sering kamu pesan. Kopi organik dari Papua yang tumbuh secara alami, tanpa bahan kimia dengan rasa ringan dan lembut, aroma tajam yang nikmat serta tekstur yang nyaris tanpa ampas,” aku menirukan gayanya yang centil saat berbicara. “Itu kan yang sering kamu bilang?” aku terkekeh.
Ia tersenyum. Senyum yang terlihat dipaksakan. Ku pandangi wajah arabiannya. Bola matanya yang indah, hidung mancung, alis tebal, dan bibir tipis yang dipoles dengan lipstick merah muda senada dengan kulitnya yang putih membuat aku tak hentinya memuja setiap pahatan wajahnya.
“Bang Damar,” sahutnya pada beberapa jeda. “Aku dijodohkan,” ucapnya dengan nada lirih. Bulir-bulir hangat mulai menggenangi sudut matanya.
Aku terbujur kaku dengan tatapan mata kosong, aliran darah ku seakan berhenti, aku seakan kehilangan oksigen untuk bernafas. Perjodohan? Sesuatu yang klise dalam kacamata ku. Aku hanya terdiam beberapa saat. Berharap semua ini hanya mimpi. Tak bisa kupercaya setelah 2 bulan kebersamaan yang kami lalui, secepat itukah ia akan pergi?

Zulfa
            Hari itu aku menguatkan hatiku. Aku mengatakan keadaanku yang sungguh tidak bisa melawan kehendak orang tuaku untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihan mereka. Sebenarnya aku tidak kuasa mengatakan itu padanya. Tapi ia harus tau, bahwa aku meninggalkannya bukan karena aku tidak cinta lagi, atau karena aku bosan dengannya. Tapi karena takdir yang memaksa hingga tangan-tangan perpisahan membuat kami tidak lagi berjalan searah.
            Sebagai seorang anak tunggal, aku sangat menyayangi orang tuaku. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, karena hanya akulah harapan mereka. Aku berusaha yakin lelaki yang dipilihkan orang tuaku adalah yang terbaik. Ketika takdir sudah memilih, itulah jalan yang harus kita lalui. Aku mengerti mengapa Tuhan menghadirkan Damar dihidupku. Meskipun hanya sebentar, meskipun ia hanya singgah di hidupku, tapi ia memberikan banyak pelajaran hidup untukku. Ia mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya.

Damar
Senja perlahan luruh. Sinar keemasan menimpa langit yang menepi ke tepi barat. Aku duduk di samping jendela kaca di sudut kafe sambil memandangi secangkir kopiku yang masih mengepul uapnya. Ku resapi aroma kopi Wamena yang begitu khas ini. Aku tersenyum melihat benda manis yang tergeletak di samping cangkirku. Gulali yang aku beli pada pak tua siang tadi.
Ketika makan gulali kita seakan kembali ke masa kecil, masa dimana tidak ada satu masalah pun yang membebani pikiran kita. Kopi dan gulali adalah pasangan yang sangat serasi. Manisnya gulali menetralkan pahitnya kopi. Seperti itulah hidup, kebahagiaan dan kesedihan datangnya satu paket. Itulah kalimat-kalimat yang selalu dia ucapkan yang sampai detik ini selalu terngiang di telingaku.
Satu tahun telah berlalu. Kini ia hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuanya. Hanya aku yang tertinggal di sini, masih di sini dengan perasaan yang sama dan untuk orang yang sama.

Di antara senja yang perlahan luruh
Ada rindu yang menyelinap di sana
Ada doa yang memeluk dari kejauhan
Ada cinta yang tak mampu diungkapkan

Total Tayangan Halaman