“Wanita memang terkadang seperti itu, susah
ditebak. Nanti juga baik sendiri,” ucapnya dengan logat Batak yang masih
kental, sambil meniup uap kopi yang menguap dicangkirnya.
“Apa mungkin jenuh sudah mulai
menyelimuti hatinya?” perasaan itu tiba-tiba menyelinap menusuk ke dalam relung
hatiku. Aku memandang ke arah taman, rumput-rumput hijau, anak-anak kecil
bermain perosotan, ayunan, berlarian kesana kemari. Gerombolan remaja sedang
asyik bercanda dan berfoto. Wajah mereka berbinar. Di sini ramai, namun entah
mengapa semua terasa kosong, hampa.
“Sudahlah, tak usah terlalu kau
pikirkan. Mungkin dia sibuk. Kau tau kan anak kuliahan, tugasnya banyak. Kau
harus mengertilah, nanti dia kalau sudah tak sibuk juga akan menghubungimu lagi
seperti biasa,” ia menepuk pundakku berusaha untuk menepiskan pikiranku yang
tidak karuan.
“Semoga saja ucapan kamu itu benar,
Maruli,” aku tersenyum getir.
Senja perlahan semakin tergelincir.
Sinarnya merah bercampur warna jingga keemasan. Aku dan Maruli segera beranjak
meninggalkan bangku taman dan coffe cup
ku yang sisa setengah isinya.
Langit seakan menyembunyikan bintang
malam ini. Aku menutup jendela kamarku dan kusibakkan gordennya. Entah mengapa udara
malam ini terasa sangat dingin. Hingga dinginnya menyusup kecelah-celah
pori-pori kulitku, menusuk hingga ke tulangku. Ditemani bantal dan guling
seadanya, aku hanya bisa menatap langit-langit kamar ku yang terasa semakin
kosong ; sekosong hatiku.
Sepi begitu menggigit malam ini. Sesekali
kulihat ponselku, berharap ada pesan singkat atau chat yang masuk. Berkali-kali
aku merubah posisi tidurku. Namun lelap tak pernah menyambutku.
Ku beranikan diri, ku ambil handphone yang tergeletak di sampingku.
Aku mulai merangkai kata-kata. Ku kirimkan pesan singkat itu padanya. Dengan
degup jantung yang tidak karuan, gelisah yang perlahan menyelinap di rongga
dadaku. Aku menunggu. Berharap ia membaca pesan singkatku, berharap ia
membalasnya, memberi kabar bagaimana keadaannya. Apa yang terjadi sehingga ia
tidak mengabariku 3 hari ini. Apa dia sakit atau sedang sibuk. Semua pertanyaan
itu mengambang dalam otakku. Seakan meraung meminta jawaban dari dia.
Lima menit, sepuluh menit, tiga
puluh menit, satu jam, dua jam. Detak jarum jam semakin membuat detak jantungku
tidak beraturan. Kuputuskan untuk menelponnya. Namun, nihil. Nomernya tidak
aktif.
Zulfa
Jemariku menari bersama imajinasi dan pemikiran di atas keyboard laptopku. Sesekali kupandangi
langit malam ini yang terlihat muru tanpa adanya bintang. Hanya kerlap kerlip
lampu kota yang menerangi malam ini.
Dering
handphoneku seketika membuyarkan
lamunanku. Tanpa membaca isi pesan singkat itu aku langsung mematikan handphoneku. Sudah 3 hari aku tidak
memberinya kabar. Sudah 3 hari aku tidak membalas sms atau mengangkat
telponnya. Aku tau mungkin dia khawatir, cemas, gelisah ketika aku bersikap
seperti ini. Tapi sungguh, aku masih belum sanggup bertemu dengannya. Aku belum
siap dengan semua kenyataan ini.
Aku
beranjak dari balkon kamarku. Seketika otakku sudah tidak mampu lagi berpikir.
Sugguh, aku begitu tersiksa dengan keadaan ini. Aku tidak tau harus berbuat
apa. Aku seperti anak kecil yang seakan lari dari kenyataan. Tapi aku hanya
butuh waktu sendiri, sedikit waktu untuk menenangkan hatiku.
Damar
Aku benci perasaan ini. Perasaan
yang perlahan menggelayutiku. Perasaan yang membuatku berantakan. Dadaku mulai
sesak. Aku seakan tak kuasa menahan rindu ini. Rindu sosok dia yang dulu. Dia
yang selalu menghubungiku. Dia yang selalu memberi kabar. Aku sudah terbiasa
dengan semua itu. Hingga begitu sulitnya aku bernafas ketika sehari saja aku
tak mendengar kabarnya.
Semua social medianya dan teman-temannya sudah kuhubungi. Dan semuanya
tidak ada respon. Ia seakan menghilang ke negeri antah barantah. Aku tidak
menuntut banyak, aku hanya ingin tau kabarnya. Selama ini aku selalu mengerti
kesibukannya. Kuliah dan pekerjaannya membuat ia bahkan harus mencuri-curi waktu
disela-sela kesibukannya itu untuk bertemu denganku. Aku tidak pernah mengeluh
dengan itu, meskipun kami tidak seperti pasangan lain yang selalu bisa bertemu
kapan pun mereka mau.
Di luar hujan dengan derasnya
menghujam bumi, riaknya luruh tak tertahan. Aku termenung memandang wajah
cantiknya melalui benda dua dimensi bernama foto. Mendengar suara lembutnya
dengan berulang kali memutar voicenotenya.
Menenun angan mengingat saat-saat aku bersamanya. Rindu ini sudah mulai
meraung.
Zulfa
Kupandangi
mawar yang dulunya putih sekarang sudah berubah menjadi hitam karena sudah layu
dan mengering. Mawar ini masih rapi melekat di buketnya dengan pita pink yang melilit di buketnya. Ku
kumpulkan kelopak-kelopak mawar yang sudah mulai rontok, tidak kubiarkan
satupun terbuang. Mawar ini hadiah pertama yang ia berikan kepadaku. Selama ini
ia memang bukan lelaki yang romantis, makanya aku begitu terkejut ketika ia
memberikut satu buket mawar putih lengkap dengan hiasan pita pink kesukaanku.
Petama
kali aku bertemu dengannya ketika mobilku tidak sengaja menabrak motornya. Kala
itu aku sedang sakit kepala dan tidak sadar aku menabrak motornya yang
terparkir di pinggir jalan. Sejak pertemuan yang tak terduga itulah aku
mengenalnya. Tapi aku tidak pernah menyangka jika ia tiba-tiba memenuhi
sudut-sudut terpencil di otakku, hingga memenuhi relung-relung hatiku. Semua
terjadi begitu cepat, tanpa teori dan banyak basa-basi.
Damar
Waktu sudah menunjukkan sepertiga
malam. Tak banyak membuang waktu lagi, aku langsung mengambil air wudhu.
Setelah lama bercengkrama dengan Tuhan, mencurahkan segala kepenatan didada
ini, aku kembali menenun angan.
Adzan berkumandang, membangunkanku
dari tidur lelapku. Baru sadar, ternyata aku tertidur di atas sajadahku.
Bergegas ku bersihkan diriku lalu ku ambil air wudhu. Bait-bait doa ku
panjatkan. Tak terlupa namanya ku rapal dalam setiap doa dan sujudku.
Aku terperanjat ketika mendengar handphoneku berdering. Satu pesan
singkat masuk. Ada letupan di hatiku yang tak bisa kujelaskan ketika aku
membacanya. Dia mengajakku bertemu siang ini.
Zulfa
Hari
ini aku memutuskan untuk bertemu dengannya. Aku sadar, aku tidak bisa
membiarkan semuanya berlarut-larut seperti ini. Aku tidak bisa membiarkan dia
terus digeluti rasa khawatir dan cemas. Aku harus memberi kabar padanya. Aku
juga sangat ingin melihat matanya yang indah, aku ingin merangkul tubuhnya yang
atletis, aku ingin bersandar di pundaknya. Aku sudah terlalu lelah.
Damar
Jemari lentiknya menari bersama
imajinasi di atas keyboard laptopnya.
Sesekali ia menyeruput coffe favoritenya.
Di sebelah cangkirnya ada gulali yang tak pernah ketinggalan dibawanya. Gulali
selalu menjadi temannya ketika minum kopi. Ia tampak cantik dengan setelan baju
merah marunnya, ditambah lilitan pashmina yang selalu ia kenakan membuat hatiku
selalu teduh ketika memandangi wajah arabiannya itu.
Aku terperanjat ketika seseorang tak
sengaja menabrakku yang sedari tadi berdiri di balik pintu kafe. Aku segera
menghampirinya. Lengkungan indah dibibirnya mengambang ketika melihat aku. Tapi
aku merasa ada yang berbeda dari senyuman itu. Bias wajahnya tidak seperti
biasanya.
“Maaf abang terlambat Zulfa,” aku
membalas senyumnya dengan hati sedikit berdebar.
“Tidak bang, aku memang sengaja
datang lebih awal. Aku sudah di sini sejak dua jam yang lalu. Aku sambil
menyelesaikan deadline novel
keduaku.”
Ia memang selalu ke kafe ini ketika
ia merasa jenuh, sedih, atau ketika tangan dan pikirannya tidak mampu mengayuh
bersama-sama untuk menciptakan rangkaian kata-kata pada tulisannya. Kafe dengan
interior feel homy ini dihiasi berbagai
aksesoris seperti karung kopi, sofa bergaya retro, lantai berwarna natural, dan
dinding batu bata merah yang disusun mengikuti pola anyaman dibiarkan tampil
polos tanpa balutan semen ini membuat otak terasa bisa berpikir dengan jernih,
katanya.
“Keliatannya kamu sangat sibuk. Apa abang
mengganggumu Zulfa?” ucapku dengan nada khawatir. Sebenarnya aku sudah tidak
sabar ingin melemparinya dengan beribu pertanyaan yang selama ini membakar
diriku. Tapi semua itu kutahan. Aku tidak ingin merusak suasana.
“Tidak bang, abang tidak pernah menggangguku,”
nadanya terdengar getir. Ia menggenggam erat tanganku. Aku melihat ada awan
kelabu di sorot matanya.
“Abang pesan minum dulu yaa,” aku
berusaha mencairkan suasana, sekaligus menepis perasaan tidak karuan yang mulai
menyelinap diam-diam.
“Wamena
Coffe,” ucapku setelah mengangkat tangan, mengisyaratkan agar pelayan kafe
membawa daftar menu untukku. Ia tersenyum mendengar pesananku. Senyum itu,
senyum yang selalu kurindukan. Rindu yang tak berkesudahan.
“Kenapa kamu tersenyum? Bukankah
kopi itu yang sering kamu pesan. Kopi organik dari Papua yang tumbuh secara
alami, tanpa bahan kimia dengan rasa ringan dan lembut, aroma
tajam yang nikmat serta tekstur yang nyaris tanpa ampas,” aku menirukan gayanya
yang centil saat berbicara. “Itu kan yang sering kamu bilang?” aku terkekeh.
Ia tersenyum. Senyum yang terlihat
dipaksakan. Ku pandangi wajah arabiannya. Bola matanya yang indah, hidung
mancung, alis tebal, dan bibir tipis yang dipoles dengan lipstick merah muda senada dengan kulitnya yang putih membuat aku
tak hentinya memuja setiap pahatan wajahnya.
“Bang Damar,” sahutnya pada beberapa
jeda. “Aku dijodohkan,” ucapnya dengan nada lirih. Bulir-bulir hangat mulai
menggenangi sudut matanya.
Aku terbujur kaku dengan tatapan
mata kosong, aliran darah ku seakan berhenti, aku seakan kehilangan oksigen
untuk bernafas. Perjodohan? Sesuatu yang klise dalam kacamata ku. Aku hanya
terdiam beberapa saat. Berharap semua ini hanya mimpi. Tak bisa kupercaya
setelah 2 bulan kebersamaan yang kami lalui, secepat itukah ia akan pergi?
Zulfa
Hari
itu aku menguatkan hatiku. Aku mengatakan keadaanku yang sungguh tidak bisa
melawan kehendak orang tuaku untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihan mereka.
Sebenarnya aku tidak kuasa mengatakan itu padanya. Tapi ia harus tau, bahwa aku
meninggalkannya bukan karena aku tidak cinta lagi, atau karena aku bosan
dengannya. Tapi karena takdir yang memaksa hingga tangan-tangan perpisahan
membuat kami tidak lagi berjalan searah.
Sebagai
seorang anak tunggal, aku sangat menyayangi orang tuaku. Aku tidak ingin
mengecewakan mereka, karena hanya akulah harapan mereka. Aku berusaha yakin
lelaki yang dipilihkan orang tuaku adalah yang terbaik. Ketika takdir sudah
memilih, itulah jalan yang harus kita lalui. Aku mengerti mengapa Tuhan
menghadirkan Damar dihidupku. Meskipun hanya sebentar, meskipun ia hanya
singgah di hidupku, tapi ia memberikan banyak pelajaran hidup untukku. Ia
mengajarkanku arti cinta yang sesungguhnya.
Damar
Senja perlahan luruh. Sinar keemasan
menimpa langit yang menepi ke tepi barat. Aku duduk di samping jendela kaca di
sudut kafe sambil memandangi secangkir kopiku yang masih mengepul uapnya. Ku
resapi aroma kopi Wamena yang begitu khas ini. Aku tersenyum melihat benda
manis yang tergeletak di samping cangkirku. Gulali yang aku beli pada pak tua
siang tadi.
Ketika makan gulali kita seakan
kembali ke masa kecil, masa dimana tidak ada satu masalah pun yang membebani
pikiran kita. Kopi dan gulali adalah pasangan yang sangat serasi. Manisnya
gulali menetralkan pahitnya kopi. Seperti itulah hidup, kebahagiaan dan
kesedihan datangnya satu paket. Itulah kalimat-kalimat yang selalu dia ucapkan
yang sampai detik ini selalu terngiang di telingaku.
Satu tahun telah berlalu. Kini ia
hidup bahagia dengan lelaki pilihan orang tuanya. Hanya aku yang tertinggal di
sini, masih di sini dengan perasaan yang sama dan untuk orang yang sama.
Di antara senja yang perlahan luruh
Ada rindu yang menyelinap di sana
Ada doa yang memeluk dari kejauhan
Ada cinta yang tak mampu diungkapkan